Selasa, 16 Oktober 2012

Etika Dengan Penegakan Hukum


Pencuri anak ayam dijebloskan 3 bulan ke dalam tahanan, sedangkan koruptor miliaran rupiah seperti dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dibiarkan bebas. Ada prinsip-prinsip dasar yang kerap dijadikan landasan bagi para praktisi hukum dalam menjalankan tugas menegakkan keadilan. Prinsip dasar yang berpegang pada mazhab filsafat hukum yang disebut legal positivism tersebut, pertama, dalam menegakkan hukum jangan sekali-kali melanggar hukum, dan kedua, apa yang tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan berarti diperkenankan. Prinsip-prinsip dasar tersebut begitu kerap dipertontonkan secara demonstratif dalam penegakan hukum pidana belakangan ini di Indonesia, sehingga hasil riil yang dicapai dari peradilan justru ketidakadilan yang sangat memiriskan hati. Contohnya, pencuri anak ayam dijebloskan 3 bulan ke dalam tahanan, sedangkan koruptor miliaran rupiah seperti dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dibiarkan bebas. Malah ada debitor kakap yang diantar dengan sangat bersahabat memasuki istana kepresidenan oleh pihak berwajib. Jangan heran pula ketika melihat tiga direktur Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan Tasripan, yang sudah dipenjarakan kemudian dibebaskan. Mengapa dalam penegakan hukum dapat terjadi hal seperti itu? Jawaban yang kita peroleh bisa saja seperti ini, Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang melarang hal itu, sehingga penjatuhan keadilan seperti itu tidak melanggar hukum. Mereka berargumentasi, bukankah dalam Pasal 12 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan batas minimum hukuman penjara adalah satu hari? Bukankah pula dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa semua harta orang berutang dapat disita untuk menjamin pelunasan utangnya? Bukankah Pasal 1851 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa kasus tunggakan utang dapat diselesaikan dengan cara menegosiasikan perjanjian perdamaian atau dapat ditangani dengan cara pemberian pelonggaran jangka waktu pembayaran (restrukturisasi kredit) dan penghapusan bunga? Fenomena ketidakadilan yang terlihat, dus jawaban para praktisi hukum sebagaimana diuraikan di atas, memang tidak dapat disalahkan jika ditinjau dari segi ketentuan hukum positif yang berlaku (lex positiva). Tapi bagaimana bila ditinjau dari dimensi yang lebih dalam? Bukankah hukum yang berkeadilan (judicium) adalah buah dari kejujuran (os justi), kebijaksanaan/hikmat (sapientia), dan hukum Tuhan (lex Dei), atau hukum yang luhur sifatnya? Yoseph Suardi Sabda (2002), misalnya, menulis, Hanya jika orang jujur bersedia menggunakan kebijaksanaan dan menaruh hukum Tuhan di dalam hatinya, barulah lidahnya dapat mengucapkan (menghasilkan) hukum yang berkeadilan. Dalam dimensi hukum Tuhan dinyatakan bahwa penegakan hukum yang hanya didasarkan pada norma-norma hukum positif, tanpa memperhatikan norma-norma luhur, norma-norma etika--penegakan hukum perspektif etika--lainnya, tidak pernah akan menghasilkan keadilan. Penegakan hukum perspektif etika adalah penegakan hukum yang benar-benar diusahakan hingga menghasilkan keadilan. Adapun penegakan hukum, sebagaimana diuraikan pada bagian pertama tulisan ini, adalah sebuah praktek penegakan hukum yang tidak etis, meski hal itu dibenarkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif. Bukankah tujuan pengadilan dalam praksisnya adalah menciptakan keadilan bukan hanya sesuai dengan hukum positif--sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku--tapi sekaligus juga dapat menciptakan dan memenuhi rasa keadilan publik? Apakah hal itu tidak mungkin? Dalam Suardi Sabda (2002) diuraikan, perlu dilakukan penajaman norma-norma etika dalam penegakan hukum, dengan perumusan nilai-nilai etis tersebut dalam dokumen-dokumen yang mau tidak mau harus diperhatikan oleh para praktisi hukum. Di Amerika Serikat dan Jepang, misalnya, para praktisi hukum telah berhasil merumuskan patokan pemidanaan secara tertulis (Sentencing Guidelines) yang ditujukan bagi terwujudnya praktek pemidanaan yang benar-benar etis, sehingga penjatuhan pidana menggelikan, penuh rekayasa, seperti yang kerap terjadi, tidak terulang lagi. Di bidang hukum perdata, para teoretikus dan praktisi hukum di negara-negara Anglo Saxon telah berhasil mengembangkan apa yang disebut sebagai equity. Equity yang dimaksudkan di sini adalah yang terdiri atas prinsip-prinsip keadilan alamiah yang sejauh ini digunakan untuk mengoreksi ketentuan hukum tertentu apabila ketentuan tersebut bertentangan dengan keadilan alamiah. Atas dasar ini filsuf Aristoteles mengatakan bahwa equity merupakan koreksi terhadap undang-undang atau hukum tertulis. Apa pun kelemahan pada perundang-undangan, dan kesulitan dalam menjatuhkan pengadilan yang berkeadilan, hal yang harus diperhatikan adalah pertama, setiap praksis penegakan hukum bertujuan untuk mencari dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Kepastian hukum yang dimaksudkan di sini adalah bahwa setiap orang yang telah terbukti bersalah harus mendapat hukuman yang setimpal. Sebaliknya, setiap orang yang setelah diperiksa dengan bukti-bukti lengkap ternyata tidak terbukti bersalah, harus pula dibebaskan dari semua tuduhan demi hukum. Kedua, penegakan hukum dilakukan untuk memenuhi keadilan. Keadilan memang tertuju bagi orang-orang yang terkait dalam sebuah delik hukum, baik korban maupun pelaku, tapi yang lebih mendasar adalah keadilan publik. Pihak yang berkepentingan terhadap proses penegakan hukum tidak hanya pelaku dan korban, tapi juga publik yang merasakan dampak, baik langsung maupun tidak langsung, sebuah perbuatan yang telah dilakukan. Seperti kata hakim J. Barnett di Inggris pada abad ke-18 ketika menjatuhkan hukuman gantung kepada seorang pencuri kuda, Engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri kuda, melainkan supaya kuda-kuda tidak akan dicuri lagi. Ketiga, penegakan hukum bertujuan untuk mencapai pemanfaatan hukum. Pemanfaatan hukum maksudnya lebih ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi dalam membedah sebuah kasus hukum, tidak boleh menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja ibarat kita membuka nomor telepon, tapi harus mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan. Sebagaimana kata Paul Scholten, guru besar hukum di Belanda, bahwa hukum memang ada dalam undang-undang--sesuai dengan ketentuan hukum positif--tapi intinya masih harus ditemukan, dan perlu diambil sari makna setiap peradilan yang dilakukan, dari sesuatu perundang-undangan yang tidak tertulis, sesuai dengan sudut pandang nilai-nilai dan norma-norma etika yang dianut publik. Thomas Koten, Sarjana Filsafat Universitas Santo Thomas, Medan Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 7 Maret 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar