Pencuri anak
ayam dijebloskan 3 bulan ke dalam tahanan, sedangkan koruptor miliaran rupiah
seperti dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dibiarkan bebas. Ada
prinsip-prinsip dasar yang kerap dijadikan landasan bagi para praktisi hukum
dalam menjalankan tugas menegakkan keadilan. Prinsip dasar yang berpegang pada
mazhab filsafat hukum yang disebut legal positivism tersebut, pertama, dalam
menegakkan hukum jangan sekali-kali melanggar hukum, dan kedua, apa yang tidak
dilarang oleh peraturan perundang-undangan berarti diperkenankan.
Prinsip-prinsip dasar tersebut begitu kerap dipertontonkan secara demonstratif
dalam penegakan hukum pidana belakangan ini di Indonesia, sehingga hasil riil
yang dicapai dari peradilan justru ketidakadilan yang sangat memiriskan hati.
Contohnya, pencuri anak ayam dijebloskan 3 bulan ke dalam tahanan, sedangkan
koruptor miliaran rupiah seperti dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
dibiarkan bebas. Malah ada debitor kakap yang diantar dengan sangat bersahabat
memasuki istana kepresidenan oleh pihak berwajib. Jangan heran pula ketika
melihat tiga direktur Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan Tasripan,
yang sudah dipenjarakan kemudian dibebaskan. Mengapa dalam penegakan hukum
dapat terjadi hal seperti itu? Jawaban yang kita peroleh bisa saja seperti ini,
Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang melarang hal itu, sehingga
penjatuhan keadilan seperti itu tidak melanggar hukum. Mereka berargumentasi,
bukankah dalam Pasal 12 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan
batas minimum hukuman penjara adalah satu hari? Bukankah pula dalam Pasal 1131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa semua harta orang berutang
dapat disita untuk menjamin pelunasan utangnya? Bukankah Pasal 1851 KUH Perdata
juga menyebutkan bahwa kasus tunggakan utang dapat diselesaikan dengan cara
menegosiasikan perjanjian perdamaian atau dapat ditangani dengan cara pemberian
pelonggaran jangka waktu pembayaran (restrukturisasi kredit) dan penghapusan
bunga? Fenomena ketidakadilan yang terlihat, dus jawaban para praktisi hukum
sebagaimana diuraikan di atas, memang tidak dapat disalahkan jika ditinjau dari
segi ketentuan hukum positif yang berlaku (lex positiva). Tapi bagaimana bila
ditinjau dari dimensi yang lebih dalam? Bukankah hukum yang berkeadilan
(judicium) adalah buah dari kejujuran (os justi), kebijaksanaan/hikmat
(sapientia), dan hukum Tuhan (lex Dei), atau hukum yang luhur sifatnya? Yoseph
Suardi Sabda (2002), misalnya, menulis, Hanya jika orang jujur bersedia
menggunakan kebijaksanaan dan menaruh hukum Tuhan di dalam hatinya, barulah
lidahnya dapat mengucapkan (menghasilkan) hukum yang berkeadilan. Dalam dimensi
hukum Tuhan dinyatakan bahwa penegakan hukum yang hanya didasarkan pada
norma-norma hukum positif, tanpa memperhatikan norma-norma luhur, norma-norma
etika--penegakan hukum perspektif etika--lainnya, tidak pernah akan
menghasilkan keadilan. Penegakan hukum perspektif etika adalah penegakan hukum
yang benar-benar diusahakan hingga menghasilkan keadilan. Adapun penegakan
hukum, sebagaimana diuraikan pada bagian pertama tulisan ini, adalah sebuah
praktek penegakan hukum yang tidak etis, meski hal itu dibenarkan oleh
ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif. Bukankah tujuan pengadilan
dalam praksisnya adalah menciptakan keadilan bukan hanya sesuai dengan hukum
positif--sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku--tapi sekaligus juga
dapat menciptakan dan memenuhi rasa keadilan publik? Apakah hal itu tidak
mungkin? Dalam Suardi Sabda (2002) diuraikan, perlu dilakukan penajaman
norma-norma etika dalam penegakan hukum, dengan perumusan nilai-nilai etis
tersebut dalam dokumen-dokumen yang mau tidak mau harus diperhatikan oleh para
praktisi hukum. Di Amerika Serikat dan Jepang, misalnya, para praktisi hukum
telah berhasil merumuskan patokan pemidanaan secara tertulis (Sentencing
Guidelines) yang ditujukan bagi terwujudnya praktek pemidanaan yang benar-benar
etis, sehingga penjatuhan pidana menggelikan, penuh rekayasa, seperti yang
kerap terjadi, tidak terulang lagi. Di bidang hukum perdata, para teoretikus
dan praktisi hukum di negara-negara Anglo Saxon telah berhasil mengembangkan
apa yang disebut sebagai equity. Equity yang dimaksudkan di sini adalah yang
terdiri atas prinsip-prinsip keadilan alamiah yang sejauh ini digunakan untuk
mengoreksi ketentuan hukum tertentu apabila ketentuan tersebut bertentangan
dengan keadilan alamiah. Atas dasar ini filsuf Aristoteles mengatakan bahwa
equity merupakan koreksi terhadap undang-undang atau hukum tertulis. Apa pun
kelemahan pada perundang-undangan, dan kesulitan dalam menjatuhkan pengadilan
yang berkeadilan, hal yang harus diperhatikan adalah pertama, setiap praksis
penegakan hukum bertujuan untuk mencari dan memberi kepastian hukum kepada
masyarakat. Kepastian hukum yang dimaksudkan di sini adalah bahwa setiap orang
yang telah terbukti bersalah harus mendapat hukuman yang setimpal. Sebaliknya,
setiap orang yang setelah diperiksa dengan bukti-bukti lengkap ternyata tidak
terbukti bersalah, harus pula dibebaskan dari semua tuduhan demi hukum. Kedua,
penegakan hukum dilakukan untuk memenuhi keadilan. Keadilan memang tertuju bagi
orang-orang yang terkait dalam sebuah delik hukum, baik korban maupun pelaku,
tapi yang lebih mendasar adalah keadilan publik. Pihak yang berkepentingan
terhadap proses penegakan hukum tidak hanya pelaku dan korban, tapi juga publik
yang merasakan dampak, baik langsung maupun tidak langsung, sebuah perbuatan
yang telah dilakukan. Seperti kata hakim J. Barnett di Inggris pada abad ke-18
ketika menjatuhkan hukuman gantung kepada seorang pencuri kuda, Engkau akan
digantung bukan karena engkau mencuri kuda, melainkan supaya kuda-kuda tidak
akan dicuri lagi. Ketiga, penegakan hukum bertujuan untuk mencapai pemanfaatan
hukum. Pemanfaatan hukum maksudnya lebih ditujukan pada terpenuhinya
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, bukan demi kepentingan pribadi atau
kelompok. Jadi dalam membedah sebuah kasus hukum, tidak boleh menerapkan
huruf-huruf peraturan begitu saja ibarat kita membuka nomor telepon, tapi harus
mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan. Sebagaimana kata
Paul Scholten, guru besar hukum di Belanda, bahwa hukum memang ada dalam
undang-undang--sesuai dengan ketentuan hukum positif--tapi intinya masih harus
ditemukan, dan perlu diambil sari makna setiap peradilan yang dilakukan, dari
sesuatu perundang-undangan yang tidak tertulis, sesuai dengan sudut pandang
nilai-nilai dan norma-norma etika yang dianut publik. Thomas Koten, Sarjana
Filsafat Universitas Santo Thomas, Medan Tulisan ini disalin dari Koran tempo,
7 Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar